Rabu, 11 Desember 2013

KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN


EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN UNTUK KELAYAKAN PERTANAIAN
PADA LOKASI PROYEK PERCONTOHAN CCFPI
DI SUMATERA DAN KALIMANTAN


PENDAHULUAN

Dewasa ini lahan gambut di Indonesia sudah banyak mengalami pengurangan, baik luas penyebaranya maupun kualitasnya. Pengurangan tersebut disebabkan oleh konversi penggunaan lahan, penebangan kayu (deforestasi) dan kebakaran hutan. (Mulyanto, 2002). Selanjutnya Subagjo et al (2002) menganalisa, luas lahan gambut di Indonesia pada awal sebelum reklamasi tahun 1970-an adalah sekitar 16-18 juta ha. namun kemudian dengan reklamasi pada lahan pasang surut selama Pelita I-III (1969-1984) yang diikuti pembukaan oleh masyarakat/pemukiman spontan pada tahun sesudahnya, luas lahan gambut telah menyusut sekitar 13-14 juta ha. Dewasa ini cukup banyak wilayah kubah gambut yang telah lenyap, dan berganti menjadi lahan persawahan dan lahan kering, serta sebagian lagi kembali menjadi semak belukar, atau bahkan menjadi bongkor. Pembukaan lahan rawa gambut untuk pengembangan pertanian (terutama untuk tanaman pangan dan perkebunan) semakin intensif. Kondisi ini menyebabkan menyusutnya ketebalan gambut secara drastis. Bahkan pada wilayah-wilayah lahan gambut yang diusahakan untuk pertanian tanaman pangan terutama yang disawahkan lapisan gambutnya telah habis (Wahyonto et al, 2003).
Pembukaan lahan rawa gambut tersebut selalu diikuti dengan rusaknya sistem hidrologi dan menimbulkan permasalahan yang berhubungan dengan sifat fisik, kimia dan biologi tanahnya (Notohadiprawiro, 1997). Kerusakan lahan gambut juga disebabkan oleh adanya penebangan kayu secara besarbesaran oleh perusahan kayu baik yang legal maupun ilegal. Untuk mengeluarkan hasil ektrasi kayu, pada umumnya penebang membuat parit-parit sebagai akses yang paling mudah dan murah. akan tetapi akibanya parit-parit tersebut berdampak terhadap penurunan permukaan tanah gambut (subsidence) dan menyebabkan tanah gambut menjadi kering tak balik (irrivisible), sehingga lahan gambut menjadi mudah terbakar. Oleh karena itu, Rasionalisasi pemanfaatan lahan gambut untuk berbagai kepentingan haruslah memperhatikan prinsip-prinsip konservasi secara menyeluruh untuk menjaga kelestariannya sebagai lahan basah alami yang unik yang berkenaan dengan keanekaragaman hayati, plasma nutfah, ekosistem langka dan sebagai pengendali emisi CO2 yang berpengaruh terhadap pemanasan global dunia.
Berkaitan dengan masalah-masalah di atas, maka untuk mengetahui aspek-aspek yang berhubungan dengan pengelolaan lahan gambut, telah dilakukan studi evaluasi lahan melalui identifikasi dan karaktersasi lahan . Hasil dari studi evaluasi lahan memberikan informasi sumberdaya lahan/tanah, terutama sifat fisik-kimia yang berkaitan dengan masalah kesuburan tanah. Makalah ini menjelaskan masalah potensi dan kendala sumberdaya gambut di lokasi proyek percontohan CCFPI. Dengan mengetahui potensi dan kendalan sumberdaya lahan tersebut, digunakan sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi dalam pengelolaan lahan terbaik dalam bentuk Best Management Practice pada setiap lokasi proyek yang dikunjungi. Bentuk rekomendasi tersebut bisa berupa kegiatan budidaya pertanian, perkebunan, rehabilitasi, maupun kegiatan lainnya.













HASIL DAN PEMBAHASAN

Iklim
Iklim sebagai salah satu faktor lingkungan fisik yang sangat penting dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Bebrapa unsur iklim yang penting adalah curah hujan, suhu, dan kelembaban. Di daerah tropika umumnya radiasi tinggi pada musim kemarau dan rendah pada musim penghujan. Namun demikian mengingat sifat saling berkaitan antara unsur iklim satu dengan yang lainnya, maka dalam uraian iklim ini akan diuraikan unsur-unsur iklim yang yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman Pada lokasi penelitian di sekitar S. Aur, S. Rambut dan Mendahara Hulu, Jamb.
Curah hujan rata-rata tahunan adalah sebesar 2.104 mm, dengan zone agroklimat C1 (Oldeman,1975), Bulan kering terjadi selama < 2 bulan. Temperatur udara rata-rata sebesar 26,5 0C. Untuk lokasi di ssekitar S. Merang, Sum-Sel. Curah hujan rata-rata tahunan adalah sebesar 2.454 mm, dengan zone agroklimat C1 (Oldeman, 1975), Bulan kering terjadi selama 1 bulan. Temperatur udara rata-rata sebesar 26,8 0C. Sementara itu, pada lokasi di sekitar Sungai Puning, Kal-Teng. Curah hujan rata-rata tahunan adalah sebesar 2.638 mm, dengan zone agroklimat C1 (Oldeman,1975), Bulan kering terjadi selama 1 bulan.
Temperatur udara ratarata sebesar 27,1 0C. Pola iklim tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap kegiatan pertanian, terutama pada waktu musim hujan. Karena lokasi-lokasi penelitian merupakan dataran dengan sungaisungai besar yang selalu mengalami banjir pada waktu musim hujan, sehingga lahanlahannya selalu tergenang selama 4 – 6 bulan dengan ketinggian air 1 – 2 meter.

Geologi dan Fisiografi

Secara umumnya keadaan geologi di lokasi penelitian (Tabel 3) termasuk kedalam formasi Alluvium(Qa) berumur kuarter yang terdiri dari endapan liat, pasir, lumpur dan bahan organik. Bahan yang membentuk tanah di daerah penelitian adalah endapan liat dan lumpur serta bahan organik. Penyebaran formasi Qa hampir di seluruh areal pada jalur aliran S. Batang Hari di Jambi maupun S. lalan di Sum-Sel. Karena adanya proses geomorfologi dan dilanjutkan dengan hidrologi seperti banjir yang mengakibatkan erosi, sedimentasi dsb, maka pada sepanjang aliran sungai terbentuk tanggul sungai (levee) dan rawa belakang (Backswamp) serta kubah gambut (peatdome) di pedalaman.
Pada daerah yang terpengaruh pasang surut secara langsung, terbentuk dataran estuarin
(estuarine flats along river). daerah ini merupakan hasil endapan lumpur pasang dan banjir di sepanjang jalur sungai, seperti yang terdapat di kawasan Merang dan Mendahara Hulu Sementara daerah penelitian di Kawasan Sungai Puning, juga termasuk kedalam formasi Alluvium (Qa) berumur kuarter. Akan tetapi kawasan ini letaknya jauh dari pantai, sehingga tidak terpengaruh oleh pasang surut. Bahan yang membentuk tanah adalah endapan liat dan lumpur serta bahan organik. Pada bagian tanggul sungai (Levee) umumnya agak tinggi sehingga tanahnya agak kering, sedangkan dibelakang tanggul sungai (Backswamp) sedikit agak rendah dan selalu tergenang air dan berawa, kadang-kadang membentuk gambut (peat dome). Sesetempat dijumpai juga Danau-danau kecil atau beje di dibelakang pemukiman sebagai tempat mengambil ikan

Penggunaan Lahan/Vegetasi

Berdasarkan pengamatan lapangan pengggunaan lahan di lokasi penelitian umumnya berupa
hutan belukar rawa atau areal bekas tebangan yang telah ditinggalkan oleh perusahaan kayu tapi masih dimanfaatkan oleh masyarakat. Jenis kayu yang ada seperti blangiran, nyatoh, gelam, pulai, durian hutan,dll, umunya berdiameter < 50 cm dengan. Hutan sekuder dengan kerapatan vegetasi sudah berkurang, sesetempat dijumpai bekas areal lahan gambut yang terbakar. Penggunaan lahan untuk pertanian umumnya terdapat disekitar pemukiman di sepanjang tepian sungai berupa kebun campuran. Jenis tanaman yang ada seperti kelapa, mangga, durian, jeruk, pisang, kemiri, dll. sesetempat dijumpai sawah dan beje yang letaknya di belakang sungai.



Keadaan Tanah

Tanah-tanah di daerah penelitian berkembang dari bahan endapan sungai dan endapan marin, dengan atau tanpa endapan organik di atasnya. Proses pembentukanya selain ditentukan oleh komponen bahan induk juga oleh keadaan vegetasi dan letak tempat yang dipengaruhi oleh air. Tanah-tanah di daerah penelitian berkembang dari bahan induk endapan sungai berupa campuran liat, debu dan bahan organik. Endapan sungai umumnya terdapat di bagian tanggul sungai (Levee) yang topografinya agak tinggi sehingga tanahnya agak kering, sedangkan dibelakang tanggul sungai (Backswamp) sedikit agak rendah, selalu tergenang air dan berawa. Endapan organik yang menutupi endapan sungai biasanya terdapat di daerah kubah gambut. Menurut “Key to Soil Taxonomy”, (Soil Survey Staff, 1998) dengan nama padanan dari Puslittan (1983), tanah ini diklasifikasikan ke dalam Typic Endoaquepts (Gleiso Distrikl) untuk tanah-tanah yang mempunyai rejim kelembaban akuik dan telah mengalami perkebangan profil.
Tanah yang mempunyai kandungan bahan organik tinggi (C-organik) 12- 18 persen dengan ketebalan > 40 cm diklasifikasikan kedalam Haplohemists (Organosol Hemik). Tanah-tanah di daerah yang berkembang dari campuran endapan sungai dan endapan endapan marin, umumnya tanah belum berkembang dan agak melumpur, mengandung bahan sulfidik pada kedalaman < 50 cm di atas permukaan tanah. Menurut “Key to Soil Taxonomy”, (Soil Survey Staff, 1998) dengan padanan dari Puslittan (1983), tanah ini diklasifikasikan kedalam Typic (Sulfic) Endoaquepts (Gleisol Tionik) untuk tanah-tanah yang bahan sufidik 50 – 75 cm di bawah permukaan tanah, sedangkan tanah-tanah yang mengandung bahan sulfidik < 50 cm di golongkan kedalam Typic Sulfaquents (GleisolTionik). Berdasarkan pengamatan sifat-sifat morfologi tanah di lapangan dan sifat-sifat kimia hasil analisa tanah di laboratorium

Lokasi S. Aur :
Asosiasi Aeric Endoaquepts (Gleisol aerik) dan Typic Endoaquepts (Gleisol Distrik), terbentuk dari hasil proses aktivitas sungai dengan bahan induk campuran liat dan debu. Aeric Endoaquepts terdapat pada bagian tanggul sungai yang agak kering, sedangkan Typic Endoaquepts terdapat pada bagian rawa belakang (bcakswamp). bentuk wilayah datar (lereng < 2%). Penyebaran tanah-tanah ini di sepanjang jalur aliran S. Batang Hari. Karakteristik. : Tekstur berlempung halus, dalam, struktur remah dan konsistensi gembur (lembab) dan agak keras (basah). Reaksi tanah masam (pH 4,4 – 4,8), C-organik dan Nitrogen rendah di lapisan atas dan sangat rendah di lapisan bawah, P205 rendah dan K20 tinggi, susunan kation Mg sedang, Ca, Na dan K rendah dengan Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) rendah, drainase terhambat

Kesesuain Lahan

Penilaian kesesuaian lahan bertujuan untuk menduga tingkat kesesuaian suatu lahan untuk
berbagai kemungkinan penggunaan lahan. Penilaian ini berdasarkan beberapa sifat-sifat lahan (land characteristic) yang dihubungkan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang akan dikembangkan. Pada evaluasi lahan ini dilakukan sedetil mungkin, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi untuk mendukung perencanaan “design” pengelolaan Lahan Gambut yang Terbaik (Best Management Practice on Peatlands). Penilaian kesesuaian lahan dilakukan pada kondisi aktual (current suitability) dan kondisi potensial (potentially suitability). Kondisi aktual berdasarkan penilaian parameter pada saat survey dilakukan, sedangkan kondisi potensial berdasarkan perkiraan kondisi lahan setelah adanya usaha perbaikan (land improvement) dilakukan. Usaha perbaikan dapat dilakukan oleh petani, misalnya pemupukan dan pengapuran ringan, pembuatan saluran drainase atau irigasi.

1. Lahan untuk pengembangan pertanian dan kehutanan
Pada Lahan-lahan yang saat ini dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, seperti sawah dan kebun campuran, sebaiknya untuk meningkatkan pengelolaannya dengan usaha perbaikan lahan misalnya dengan pembuatan saluran drianase atau tabukan dan guludan (sistem surjan) serta dengan memperhatikan pola-tanam serta pemupukan dan pengapuran. Tanaman pangan yang dapat diusahakan. antara lain : padi, jagung, kacang panjang dan ubi kayu. Tanaman holtikultura antara lain : semangka, pisang, pepaya dan jeruk. Tanaman tahunan antara lain: kelapa, kemiri, mangga.
Lahan masyarakat yang telah ditanami tanaman keras dan tanaman kehidupan terlihat kurang maksimal pemanfaatannya. Hal ini dapat diatasi dengan menambah jumlah dan diversifikasi jenis tanaman. Beberapa tanaman keras yang dinilai cocok di lokasi ini seperti Kemiri (Aleurites moluccana), Sungkai (Pheronema canescens), dan Jati Putih (Gmelina arborea). Lebih dalam lagi, pengaturan lay out tanaman juga harus terencana dan tepat sesuai dengan sifat tanaman. Salah satu contoh adalah tanaman pinang dapat ditanam pada jarak yang rapat, bakan bisa dipakai sebagai alternatif tanaman pagar. Sementara tanaman berkayu butuh ruang yang lebih antara tanaman satu dengan yang lainnya

2. Lahan untuk Rehabilitasi dan Konservasi
Pada Lahan-lahan yang mempunyai jenis tanah gambut dengan baik yang dangkal maupun
yang dalam, lahannya sangat sulit untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian walaupun dengan tingkat masukan tinggi. Kendala utama pada lahan gambut adalah tanah sangat masam sekali, apabila didrainase tanah akan lebih cepat menurun (subsidence) dan cepat mengering (overdrain). Kondisi demikian memudahkan lahan cepat terbakar, yang akhirnya dari bekas lokasi terbakar ini akan terbentuk rawa-rawa (kubangan) yang luas menyerupai danau dengan kualitas biodivesersity yang sangat miskin sekali. Lahan ini sebaiknya direhabilitasi dengan tanaman kehutanan yang asli setempat (pionir) dan daya tumbuh secara cepat (suksesi). Tanaman yang sesuai untuk dikembangkan adalah jelutung rawa (Dyera loowi) dan pulai (Alstonia scholaris), Meranti, nipah dan Ramin.Perbaikan lahan yang harus dilakukan adalah pembuatan pintu-pintu air (bendungan).


KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1.     Sebagian besar lokasi kegiatan Proyek CCFPI di Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimatan Tengah merupakan lahan yang tidak sesuai untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan maupun perkebunan. Lahan-lahan tersebut mempunyai kendala yang cukup serius, diantaranya tingkat kemasaman tanah yang ekstrim (pH tanah <4), mempunyai potensi tanah sulfat masam (racun, akibat adanya oksidasi pyrite), dan rentan terhadap kebakaran. Sebaiknya lahan tersebut direhabilitasi atau dikonservasi untuk mencegah bertambah luasnya degradasi lahan dan hutan gambut. Disamping itu juga terdapat lahan-lahan yang berbatasan dengan Hutan Suaka Alam (HSA) dan Taman Nasional (TN) Berbak dan Calon TN Sembilang, dimana lahan-lahan tersebut merupakan lokasi perlindungan Hutan Rawa Gambut.
2.      Untuk pengembangan pertanian umumnya terdapat di daerah tepian sungai sejauh antara 500 – 1500 meter dari pinggir sungai. Pada bagian atas yang cembung (levee) dapat ditanami secara tumpang sari antara tanaman pangan dengan tanaman perkebunan atau kehutanan (kebun campuran). Sedangkan bagian bawah yang cekung dapat ditanami dengan tanaman pangan. Namun demikian, pengelolaan air (water management) harus menjadi perhatian utama (pola tanam).
3.     Tanaman pangan yang dapat dikembangkan adalah adalah Padi, Jagung, Ubi kayu, Kedele, Kacang tanah, dan Kacang panjang. Untuk tanaman perkebunan adalah Kelapa, Coklat dan Kopi. Untuk tanaman buah-buahan adalah Mangga, Jeruk, Nangka, Pisang, Semangka, Pepaya dan Sirsak. Untuk tanaman kehutanan dan berkayu adalah Kemiri, Jelutung, Pinang dll.
4.      Pada lokasi-lokasi ini dapat diberikan pengertian akan pentingnya peranan hutan gambut dan penyuluhan untuk memberikan kesadaran pada masyarakat agar tidak merambah lahan dan hutan gambut. Salah satu cara untuk mengantisipasinya maka perlu diberikan bantuan modal usaha tani.
5.      Lahan dan hutan gambut berfungsi sebagai pengikat unsur karbon, penyerap dan penyimpan air serta tempat hidup keanekaragaman hayati. Untuk itu perlu diperhatikan secara khusus dengan melidungi, mejaga dan merehabilitasi lahan dan hutan gambut.






PUSTAKA

Centre For Soil and Agroclimate Research 1994. Klasifikasi Landform. Second Land Resources
Evaluation and Planning Project (LREPP II part C) Centre For Soil and Agroclimate Research 1994. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Kehutanan. Second Land Resources Evaluation and Planning Project (LREPP IIpart C). CSR/FAO staff, 1983. Reconnaissance Land Resources Surveys 1:250.000 scale. Atlas Format Procedures. AGOF/INS/78/006. Manual 4 Version 1, CSR Bogor. Ministery of Agriculture.
Driesssen, P.M. and M. Sudjadi, 1984. Soil and Specific Soil Problems of tidal swamp.
Workshop on Research Priority in Tidal swamp Rice.
FAO, 1983. Guideline for Soil Description. Gafoer, S. G, Burhan dan J. Purnomo, 1986. Peta Geologi lembar Jambi dan Palembang Sumatera Selatan. Skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung.
Institut Pertanian Bogor, 1976. Laporan Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Pasang Surut Tanjung. Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Direktorat Jenderal Pengairan. Dep. Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.
Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 1969. Pedoman Pengamatan Tanah di lapang. Oldeman, L.R., Irsal Las, and Muladi. 1979. An Agroclimate Map of Sumatera scale 1:2.500.000. Contributions from Central Research Institute for Agriculture. CRIA Bogor.
Pusat Penelitian Tanah. 1983. Term of Reference Survei Kapabilitas Tanah. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT). Bogor.




































EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN


PETUNJUK TEKNIS EVALUASI LAHAN
UNTUK KOMODITAS PERTANIAN
(APLIKASI KUALITAS LAHAN DAN KESESUAIAN LAHAN)


A.    PENDAHULUAN


Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah,hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna dan manusia baik di masa lalu
maupun saat sekarang, seperti lahan rawa dan pasang surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu.

Kebutuhan lahan yang semakin meningkat, langkanya lahan pertanian yang subur dan potensial, serta adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dan non-pertanian, memerlukan teknologi tepat guna dalam upaya mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan. Untuk dapat memanfaatkan sumber daya lahan secara terarah dan efisien diperlukan tersedianya data dan informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim, tanah dan sifat lingkungan fisik lainnya, serta persyaratan tumbuh tanaman yang diusahakan, terutama tanaman-tanaman yang mempunyai peluang pasar dan arti ekonomi cukup baik.
Data iklim, tanah, dan sifat fisik lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman serta terhadap aspek manajemennya perlu diidentifikasi melalui kegiatan survei dan pemetaan sumber daya lahan. Data sumber daya lahan ini diperlukan terutama untuk kepentingan perencanaan pembangunan dan pengembangan pertanian.
Data yang dihasilkan dari kegiatan survei dan pemetaan sumber daya lahan masih sulit untuk dapat dipakai oleh pengguna (users) untuk suatu perencanaan tanpa dilakukan interpretasi bagi keperluan tertentu. Evaluasi lahan merupakan suatu pendekatan atau cara untuk menilai potensi sumber daya lahan. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi yang kemungkinan akan diperoleh.
Beberapa sistem evaluasi lahan yang telah banyak dikembangkan dengan menggunakan berbagai pendekatan, yaitu ada yang dengan sistem perkalian parameter, penjumlahan, dan sistem matching atau mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan (Land Qualities/Land Characteritics) dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh komoditas pertanian yang berbasis lahan.

Sistem evaluasi lahan yang pernah digunakan dan yang sedang dikembangkan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Balai Penelitian Tanah Bogor diantaranya:
1.      Klasifikasi kemampuan wilayah (Soepraptohardjo, 1970)
2.      Sistem pendugaan kesesuaian lahan secara parametrik (Driessen, 1971)
3.       Sistem yang digunakan oleh Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi atau P3MT (Staf PPT, 1983)
4.      Sistem yang digunakan dalam Reconnaissance Land Resources Surveys 1:250.000 scale Atlas Format Procedures (CSR/FAO, 1983)
5.      Land Evaluation Computer System atau LECS (Wood, and Dent,1983)
6.       Automated Land Evalution System atau ALES (Rossiter D.G., and A.R. Van Wambeke, 1997)
Adanya berbagai sistem atau metode yang digunakan dalam evaluasi lahan tanpa mempertimbangkan tingkat dan skala peta dalam hubungannya dengan ketersediaan dan kehandalan (accuracy) data, dapat mengakibatkan terjadinya kerancuan dalam interpretasi dan evaluasi lahan. Sebagai contoh sistem Atlas Format (CSR/FAO, 1983) yang pada awalnya ditujukan untuk keperluan evaluasi lahan pada tingkat tinjau (reconnaissance) skala 1:250.000, sering juga digunakan untuk evaluasi lahan pada skala yang lebih besar (semi detil atau detil). Hal ini mengakibatkan informasi dan data yang begitu lengkap dari hasil pemetaan semi detil dan detil, tidak nampak peranannya dalam hasil evaluasi lahan, sehingga hasil tersebut masih sulit digunakan untuk keperluan alih teknologi dalam perencanaan pembangunan pertanian khususnya untuk skala mikro.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan adanya suatu Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan yang dapat digunakan sesuai dengan tingkat pemetaan dan skala peta, serta tujuan dari evaluasi lahan yang akan dilakukan dalam kaitannya dengan ketersediaan dan validitas data. Petunjuk teknis ini disusun mengacu kepada “Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian Versi 3.0” (Djaenudin et al., 2000), dan dirancang untuk keperluan pemetaan tanah tingkat semi detil (skala peta 1:50.000)






B.     PEMBAHASAN DAN PENJELASAN

1.      Pengertian Kualitas Lahan
Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteristik lahan (FAO, 1976).
Dalam evaluasi lahan sering kualitas lahan tidak digunakan tetapi langsung menggunakan karakteristik lahan (Driessen, 1971; Staf PPT, 1983), karena keduanya dianggap sama nilainya dalam evaluasi. Metode evaluasi yang menggunakan kualitas lahan antara lain dikemukakan pada CSR/FAO (1983), FAO (1983), Sys et al. (1993).

Tabel 2. Kualitas lahan yang dipakai pada metode evaluasi lahan menurut CSR/FAO (1983), FAO (1983), dan Sys et al. (1993).
CSR/FAO, 1983
FAO, 1983
Sys et.al., 1993
Temperatur
Kelembaban
Sifat iklim
Ketersediaan air
Ketersediaan hara
Topografi
Ketersediaan oksigen
Ketersediaan oksigen
Kelembaban
Media perakaran
Media untuk perkembangan akar
Sifat fisik tanah
Retensi hara
Kondisi untuk pertumbuhan
Sifat kesuburan tanah
Toksisitas
Kemudahan diolah
Salinitas/alkalinitas
Sodisitas
Salinitas dan alkalinitas/ toksisitas

Bahaya sulfidik
Retensi terhadap erosi

Bahaya erosi
Bahaya banjir

Penyiapan lahan
Temperatur


Energi radiasi dan fotoperiode


Bahaya unsur iklim (angin, kekeringan)


Kelembaban udara
Periode kering untuk pemasakan (ripening) tanaman


Setiap kualitas lahan dapat berpengaruh terhadap satu atau lebih dari jenis penggunaannya. Demikian pula satu jenis penggunaan lahan tertentu akan dipengaruhi oleh berbagai kualitas lahan.
Sebagai contoh bahaya erosi dipengaruhi oleh: keadaan sifat tanah, terrain (lereng) dan ikim (curah hujan). Ketersediaan air bagi kebutuhan tanaman dipengaruhi antara lain oleh: faktor iklim, topografi, drainase, tekstur, struktur, dan konsistensi tanah, zone perakaran, dan bahan kasar (batu, kerikil) di dalam penampang tanah.
2.      Karakteristik lahan
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. Dari beberapa pustaka menunjukkan bahwa penggunaan karakteristik lahan untuk keperluan evaluasi lahan bervariasi. Sebagai gambaran Tabel 1 menunjukkan variasi dari karakteristik lahan yang digunakan sebagai parameter dalam evaluasi kesesuaian lahan oleh beberapa sumber (Staf PPT, 1983; Bunting, 1981; Sys et al., 1993; CSR/FAO, 1983; dan Driessen, 1971).
Tabel 1. Karakteristik lahan yang digunakan sebagai parameter dalam evaluasi lahan.
Staf PPT (1983)
Bunting (1981)
Sys et al. (1993)
CSR/FAO (1983)
Driessen (1971)
Tipe hujan (Oldeman et al.)
Periode pertumbuhan tanaman
Temperatur rerata (°C) atau elevasi
Temperatur rerata (°C) atau elevasi
Lereng
Kelas drainase
Temperatur rerata pada periode pertumbuhan
Curah hujan (mm)
Curah hujan (mm)
Mikrorelief
Sebaran besar butir (lapisan atas)
Curah hujan tahunan
Lamanya masa kering (bulan)
Lamanya masa kering (bulan)
Keadaan batu
Kedalaman efektif
Kelas drainase
Kelembaban udara
Kelembaban udara
Kelas drainase
Ketebalan gambut
Tekstur tanah
Kelas Drainase
Kelas drainase
Regim kelembaban
Dekomposisi gambut/jenis gambut
Kedalaman perakaran
Tekstur/Struktur
Tekstur
Salinitas/ alkalinitas
KTK
Reaksi tanah (pH)
Bahan kasar
Bahan kasar
Kejenuhan basa
Kejenuhan basa
Salinitas/ DHL
Kedalaman tanah
Kedalaman tanah
Reaksi tanah (pH)
Reaksi tanah (pH)
Pengambilan hara (N, P, K) oleh tanaman
KTK liat
Ketebalan gambut
Kadar pirit
C-organik

Pengurasan hara (N, P, K) dari tanah
Kejenuhan basa
Kematangan gambut
Kadar bahan organik
P-tersedia

Reaksi tanah (pH)
KTK liat
Tebal bahan organik
Salinitas/DHL

C-organik
Kejenuhan basa
Tekstur
Kedalaman pirit

Aluminium
Reaksi tanah (pH)
Struktur, porositas, dan tingkatan
Lereng (%)/mikrorelief

Salinitas/DHL
C-organik
Macam liat
Erosi

Alkalinitas
Aluminium
Bahan induk/ cadangan mineral
Kerusakan karena banjir

Lereng
Salinitas/DHL
Kedalaman efektif
Batu dan kerikil, penghambat pengolahan tanah

Genangan
Alkalinitas

Pori air tersedia

Batuan di permukaan
Kadar pirit

Penghambat pertumbuhan karena kekurangan air

CaCO3
Lereng

Kesuburan tanah

Gypsum
Bahaya erosi

Permeabilitas lapisan atas

Jumlah basa total
Genangan




Batuan di permukaan




Singkapan batuan





3.      Kesesuain Lahan
Klasifikasi Kesesuaian LahanUmum
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Sebagai contoh lahan sangat sesuai untuk irigasi, lahan cukup sesuai untuk pertanian tanaman tahunan atau pertanian tanaman semusim.

Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk suatu usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif.
Pengertian kesesuaian lahan (land suitability) berbeda dengan kemampuan lahan (land capability). Kemampuan lahan lebih menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan lahan secara umum yang dapat diusahakan di suatu wilayah. Jadi semakin banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah maka kemampuan lahan tersebut semakin tinggi. Sebagai contoh suatu lahan yang topografi atau reliefnya datar, tanahnya dalam, tidak kena pengaruh banjir dan iklimnya cukup basah kemampuan lahan pada umumnya cukup baik untuk pengembangan tanaman semusim maupun tanaman tahunan.
Namun jika kedalaman tanahnya kurang dari 50 cm, lahan tersebut hanya mampu dikembangkan untuk tanaman semusim atau tanaman lain yang mempunyai zone perakaran dangkal. Sedangkan kesesuaian lahan adalah kecocokan dari sebidang lahan untuk tipe penggunaan tertentu (land utilization type), sehingga harus mempertimbangkan aspek manajemennya. Misalnya untuk padi sawah irigasi atau sawah pasang surut, ubi kayu, kedelai, perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri akasia atau meranti.
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan
Dalam menilai kesesuaian lahan ada beberapa cara, antara lain, dengan perkalian parameter, penjumlahan, atau menggunakan hukum minimum yaitu mencocokkan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas lainnya yang dievaluasi. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut:
Ordo : Keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N).
Kelas : Keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. Kelas S1, sangat sesuai : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap
Subkelas: Keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Faktor pembatas ini sebaiknya dibatasi jumlahnya, maksimum dua pembatas. Tergantung peranan faktor pembatas yaitu termasuk kelas sesuai marginal dengan subkelasnya oa atau ketersediaan oksigen tidak memadai.
Unit : Keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Semua unit yang berada dalam satu subkelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkatan subkelas. Unit yang satu berbeda dari unit yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan detil dari faktor pembatasnya. Contoh Kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai kelas dan subkelas yang sama dengan faktor penghambat sama yaitu kedalaman efektif, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1 kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan Unit 2 kedalaman efektif dangkal (<50 cm). Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori unit ini jarang digunakan.
Macam kesesuaian lahan
Menurut kerangka FAO (1976) dikenal dua macam kesesuaian lahan, yaitu: Kesesuaian lahan kualitatif dan Kesesuaian lahan kuantitatif. Masing-masing Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual maupun potensial, atau Kesesuaian lahan aktual dan Kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang hanya dinyatakan dalam istilah kualitatif, tanpa perhitungan yang tepat baik biaya atau modal maupun keuntungan. Klasifikasi ini didasarkan hanya pada potensi fisik lahan. Kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan tidak hanya pada fisik lahan, tetapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi, seperti input-output atau cost-benefit.
Dalam perencanaan operasional proyek biasanya membutuhkan evaluasi lahan secara kuantitatif. Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi penggunaan lahan sekarang (present land use), tanpa masukan perbaikan. Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi setelah diberikan masukan perbaikan, seperti penambahan pupuk, pengairan atau terasering tergantung dari jenis faktor pembatasnya.
Penilaian kesesuaian lahan bertujuan untuk menduga tingkat kesesuaian suatu lahan untuk berbagai kemungkinan penggunaan lahan. Penilaian ini berdasarkan beberapa sifat-sifat lahan (land characteristic) yang dihubungkan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang akan dikembangkan.
Penilaian kesesuaian lahan dilakukan pada kondisi aktual (current suitability) dan kondisi potensial (potentially suitability). Kondisi aktual berdasarkan penilaian parameter pada saat survey dilakukan, sedangkan kondisi potensial berdasarkan perkiraan kondisi lahan setelah adanya usaha perbaikan (land improvement) dilakukan. Usaha perbaikan dapat dilakukan oleh petani, misalnya pemupukan dan pengapuran ringan, pembuatan saluran drainase atau irigasi.
Penilaiannya dapat digolongkan kedalam dua kelas yaitu : kelas sesuai maginal (S3) dan tidak sesuai (N), dengan beberapa faktor pembatas antara lain: drainase (d), Kematangan dan kedalaman gambut (g), ketersedian hara (n), retensi hara (f), kedalaman bahan sufidik (x) dan banjir/genangan musiman (b)







C.    RUJUKAN/ DAFTAR PUSTAKA

Beek, K.J., P.A. Burrough, and D.E Mc Cormack. 1986. Quantified Land
Evaluation Procedures. ITC Publication No. 6.
Balai Penelitian Hortikultura Lembang. 1989. Kentang. Edisi ke 2. Balitbang Pertanian.
Balai Penelitian Hortikultura Lembang. 1993. Kubis. Badan Litbang Pertanian.
Balai Penelitian Tanaman Buah. 1996. Peningkatan Efisiensi Teknologi Usahatani Mangga. Puslitbanghort. Balitbang Pertanian Dep. Tan.Monograf Mangga.
Balai Penelitian Tanaman Buah. 1996. Peningkatan Efisiensi Teknologi Usahatani Jeruk. Puslitbanghort. Balitbang Pertanian Dep. Tan. Monograf Jeruk.
Balitro. 1991. Perkembangan Penelitian Tanaman Industri Lain. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Vol. VII no. 2.
Balitro. 1992. Pedoman Bercocok Tanam Kencur (Kaempferix galanga L).
Circular No. 38 (cetakan ke II).
Braak, C. 1928. The Climate of The Netherlands Indies. Proc. Royal Mogn. Meteor. Observ. Batavia, nr. 14. pp. 192.
Bunting, E.S. 1981. Assessments of the effecs on yield of variations in climate and soil characteristics for twenty crops species. AGOF/INS/78/006, Technical Note No 12. Centre for Soil research, Bogor, Indonesia
CSR/FAO. 1983. Reconnaissance Land Resource Survey 1:250.000 scale. Atlas Format Procedures. Land Resources Evaluation with Emphasis on Outer Island Project. CSR/FAO Indonesia AGOFANS/78/006. Mannual 4 version 1.
Djaenudin, D., Marwan, H., H. Subagyo, A. Mulyani, dan Nata Suharta. 2000.
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi 3.0.
September 2000. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian.
Donald A Davidson. 1992. The Evaluation of Land Resources. Longman
Scientific & Technical VS, New York.